Kamis, April 23, 2009

nafla




Nafla....matahari di rumah kami.
Selalu membuat kami tersenyum dan rindu segera pulang.

foto oleh wahyu setyawan & vica yustisiana



Sabtu, April 04, 2009

guggenheim



Berbekal peta dari hotel, saya melangkahkan kaki ke arah Central Park. Mencari sebuah identitas kota NY ibarat menyelami belantara arsitektur. Akhirnya saya menemukannya, meski agak kecewa karena dia sedang berbalut jaring......dengan sebuah signage....exterior restoration in progress.
Guggenheim museum.....akhirnya saya menyentuhmu.....apresiasi untuk Frank L. Wright.

(text & foto oleh wahyu setyawan)


Selasa, Februari 10, 2009

nickname






Ini tentang nama. Nama para sahabat saya saat kuliah.
Adalah sebuah kebiasaan bagi setiap dari kami saat itu, mempunyai nickname yang aneh-aneh.
Sehari-hari nickname itulah yang akrab di telinga kami, dalam canda dan tawa bersama.
Saya berani bertaruh, pasti mereka bakal kelabakan kalo ditanya nama asli rekan-rekan seperjuangannya itu.

Berikut secuil kenangan yang masih saya ingat dari mereka.

Bento………nama aslinya Emanuel Suryawantoro.
Orangnya sangar, gondrong selalu, anak metal sejati terutama buat Van Hallen. Tapi takut dengan makhluk yang disebut wanita.

Glawor………..nama aslinya Yudha Jatayu.
Perawakannya kurus tinggi…….sepintas kayak Chris Novoselic sang basistnya almarmum Nirvana. Saking tingginya ini anak…..dengkulnya selalu mentok setang sepeda motor mungilnya.

Gatheng……nama aslinya Yudi Susetya.
Anak Kediri ini gara-gara sering bilang “peh……gatheeeeng”………makanya dijulukin si gatheng.

nJombang…..nama aslinya Muhammad Nur Effendy.
Saking seringnya mudik ke Jombang……makanya dia dipanggil nJombang. Mringas-mringis adalah senjatanya kalo ditanyain.

Brintik……nama aslinya Tjahya Tribinuka.
Mudah ditebak……karena berambut (atas) brintik. Meski sudah sedikit nggak stereo lagi, tapi dia jago nggambar and jago ngeyel.

Koh Bo…..nama aslinya Andy Sidharta.
Jawa asli…..tapi sipit & putih kayak orang China. Rumahnya kita pake markas MP (Mulyosari Place…plesetannya Melrose Place). Markas buat males-malesan……bikin tugas…..mroyek bikin maket…..sampe buat menghindar dari tagihan bulanan ibu kos.

Ongky……nama aslinya Putu Mahendra.
Perasaaan mukanya gak mirip banget sama Ongky Alexander…….tapi biarlah….asal dia senang.
Tapi kami semua sekarang manggil dia si Boss….karena emang sudah jadi boss besar di Bensley Desain Studio Sanur.

IAN……nama aslinya Henry Tri Setyobudi.
Kepanjangannya adalah Ikatan Arsitek Nganjuk……….saking pengennnya dia jadi ketua IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) cabang Nganjuk….. isoooooo ae.

Bujel……nama aslinya …..e……e…..sopo yo?.....lali aku….
Yang jelas ada Budi-nya…….dipanggil bujel karena mungkin “sumbunya” bujel (tumpul).

Ipong…….nama aslinya Afif Azhary.
Tinggi…..kurus……gondrong sebahu…..sangar abis……tapi takutnya sama AYAM. Bisa lari terbirit-birit kalo di jalan berpapasan dengan ayam. Gak tahu kalo sama AYAM KAMPUS. Mungkin juga bakal lari terbirit…mendekat.

Gelek….nama aslinya Irawan Kuswardhana.
Kurus - tinggi - tirus…..persis Susi Sunaryo.…pelawak bencong tahun 80an. Pokoknya kayak orang junkies abies……yg abis ngisep satu sloof ganja (gelek).

Gondrong…..nama aslinya Agus HST.
Gondrong sejati……sedikit gegar otak……sukanya makan jangkrik dan serangga sejenisnya…..sok ngeblues….sok seniman…….gak pernah mandi. Sekali-kali nyambi jadi germo.

Ndut…….nama aslinya Mahdianto Tjahyadi.
Asli gendut…….bossy……distributor film BF……koleksinya setumpuk. Lumayan buat kami tonton saat lagi gak jelas.

Jumi…..nama aslinya Joemantoro Mulyadi.
Tahu Aburizal Bakrie?......nahkayak gitu dah profil mukanya…..nyakil abis. Super cuek. Pernah kuliah pake kaos model jaring-jaring….alhasil itu puting nonjok banget……sayangnya dia laki.

Shrinking Arnold……….nama aslinya Rivani Ardiansyah.
Tahu Arnold Schwazenegger?.........nah….bayangin dia kalo skalanya dikecilin……itu dia.

Sebenarnya masih banyak lagi…..tapi saya perlu tenaga ekstra buat memeras otak….mengingat-ingat….kembali ke masa lalu. Ntar deh kalo ingat….ditambahin lagi.

Lha nickname saya apa dong?......Hehehehehe…..RAHASIA.

Teks oleh Wahyu Setyawan
Foto oleh salah seorang dari sahabat (lali……saking suwene)

Senin, Februari 09, 2009

lubang maut


Ini tentang sebuah lubang…..lubang di tengah jalan raya beraspal di kota Surabaya….tepatnya di depan sebuah kantor SAMSAT.
Lubang itu tidak terlalu besar……berdiameter 40 cm….10 cm dalamnya.
Saya berkali-kali menerjangnya…meski hampir setiap hari melewatinya….tapi selalu menciumnya juga.

Sekitar sebulan yang lalu….di pagi hari….seorang gadis bersepeda motor terjungkal saat menerabas lubang itu. Motornya terpelanting tak terkendali…demikian juga dengan si gadis. Dia terkapar shock berat. Di belakang gadis itu…seorang wanita professional muda…..tengah mengendarai sebuah sedan…..terkejut dan reflex membanting setirnya ke kanan….hingga mobilnya mencium pembatas jalur hijau….sampai as rodanya bengkok.
Di belakang mobil itu seorang mahasiswa cowok bersepeda motor …..juga tersentak….namun sial nya nggak bisa menghindar….motornya nabrak mobil sedan itu….sampe separuh bagian motornya masuk ke kolong sedan bagian belakang.
Nah…saya berada di belakang motor si cowok……juga gak kalah kaget….tapi reflex saya masih sempet nyamber…..ngerem mobil seketika…..kurang dari semeter dari itu motor si cowok.
Sontak jalan itu jadi riuh.

Ironis memang….sebuah lubang di tengah jalan raya tepat di depan sebuah instansi penarik pajak kendaraan bermotor (SAMSAT)……telah menelan korban dari sekian warga yg telah taat membayar pajak kendaraan bermotornya. Uang dari hasil pajak tersebut ternyata belum mampu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pembayarnya. Bahkan untuk menambal lubang sekecil itu….harus menunggu jatuhnya korban.

Ini kejadian kesekalian kalinya yang saya lihat dengan mata kepala sendiri tragedi di tengah jalan raya.
Saya teringat kata-kata almarhum Mochtar Lubis…..salah satu tokoh besar jurnalistik negeri ini….dia bilang bahwa jumlah kecelakaan lalu-lintas di Indonesia setiap tahunnya jauh lebih besar dari korban perang kemerdekaan. Ini membuktikan bahwa kendaraan bermotor dan sarana pendukungnya belum menjadi alat transportasi yang sesungguhnya….namun lebih menjadi “mesin pembunuh” di jalan raya. Begitu kesimpulan beliau.

Lubang itu hanya setitik noda dari sekian ribu noda di jutaan kilometer jalan raya di negeri ini. Lubang-lubang sebanyak itu siap menelan mangsanya. Itulah jalan yang berlubang……bukan “lubang” yang berjalan. Yang satu menyakitkan….yang lainnya mengasyikkan.

Besoknya saya penasaran…….saya lewat jalan itu lagi pengen liat apa yg terjadi dengan lubang itu…..ternyata sudah tertutup…..tapi dengan TANAH LIAT….bukan dengan aspal.

Ooooooohhhhhh…………alangkah eloknya negeriku.
foto & teks oleh wahyu setyawan

Kamis, Februari 05, 2009

trowulan





foto-foto oleh wahyu setyawan

Rabu, Februari 04, 2009

philadelphia




foto-foto oleh wahyu setyawan

washington DC





foto-foto oleh wahyu setyawan

Jumat, Januari 30, 2009

renovasi, nikmatnya memperbarui identitas





“ Motornya dijual nggak mas?”…… suara berat mengejutkan terdengar di samping saya yang sedang asyik menelusuri jalanan kota Surabaya dengan sebuah motor Jepang keluaran awal tahun 70an. Refleks saya bilang……”enggak pak….ini pacar saya”.
Peristiwa itu terjadi dua belas tahun yang lalu, saat saya baru saja selesai kuliah dan menikmati gaji pertama dari pekerjaan resmi pertama. Sebenarnya saya sudah bekerja sejak kuliah, meski serabutan, sekedar cari tambahan uang kuliah.
Motor tua itu saya beli dari beasiswa pas-pasan yang saya terima di semester-semester akhir sebelum lulus kuliah. Karena sadar bahwa untuk menjadi seorang arsitek saya perlu kaki yang panjang, maka saya putuskan menyambung kaki dengan roda bermesin. Jika pilihannya adalah pada sebuah motor renta, itu semata karena terbatasnya dana, bukan karena penggemar fanatik barang antik. Otak kreatif saya mendorong untuk melakukan pembaruan pada motor tua itu di sana-sini. Lambat laun motor itu berubah dari seonggok besi tua bermesin, menjadi sebuah identitas yang layak jual. Hasilnya, mulut ini capek menolak tawaran orang yang ingin merebut kuda besi saya, seperti yang dilakukan seorang bapak di tengah jalan tadi.

Di jagat arsitektur, dikenal istilah RENOVASI (renovation), yang artinya kurang lebih adalah kegiatan untuk memperbarui kondisi suatu bangunan menjadi lebih baik (secara fisik) dan
Di dalam situs ensiklopedi bebas Wikipedia menyebutkan bahwa Renovation is the process of restoring or improving a structure.
Ada juga istilah make over, yang lazim dipakai oleh para penata rias untuk meningkatkan kualitas penampilan seseorang secara fisik, bukan otaknya.
Kegiatan renovasi secara umum ditujukan untuk mendapatkan tampilan dan kenyamanan yang lebih baik dari sebelumnya. Motivasi kegiatan renovasi didasari oleh banyak hal dan pertimbangan.

Tunjungan Plasa di Surabaya, mengalami renovasi cukup dramatis di tahun 2000an, sehingga kita tidak akan mendapati lagi karakter lama plasa terbesar di Surabaya ini yang dulunya dipenuhi dengan tempelan keramik kecil putih di dindingnya. Sekarang plasa itu telah berganti baju yang lebih modern, dipenuhi cladding aluminium beraneka warna dan orientasi alur, meninggalkan kenangan lamanya begitu saja, tanpa menyisakan sedikitpun sejarahnya. Agaknya pengelola ingin mall tertua itu ingin agar tampilan luar Tunjungan Plasa tetap bisa bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan baru yang tampilannya lebih “segar”. Arsitektur adalah advertisement, sebuah media promosi yang ampuh untuk menggegerkan sebuah kota.

Perumahan real estate dibangun dengan paradigma bahwa rumah yang ideal adalah seperti yang mereka bangun. Identitas menjadi pertimbangan yang ke sekian ribu. Oleh karena itu, rumah diperlakukan sebagai sebuah komoditi industri yang diproduksi masal. Tidak heran jika terjadi renovasi besar-besaran ketika rumah itu telah dihuni. Bisa karena alasan kebutuhan ruang, bisa juga karena alasan identitas. Harmonisasi tampilan yang dicita-citakan oleh developer, seketika berubah karena kebutuhan identitas yang berbeda oleh masing-masing pemilik rumah. Tidak mengherankan jika terdapat developer yang strictly melarang perubahan tampilan depan bangunan rumah untuk menjaga harmonisasi street picture. Arsitektur adalah ego dan identitas, yang didalamnya menyelinap kebanggaan. Jadi sangatlah wajar jika para penghuni perumahan real estate yang rumahnya seragam itu, melakukan renovasi untuk menemukan jatidirinya yang tidak mau disamakan dengan tetangga sebelah.

Norman Foster, ketika membuat desain untuk renovasi gedung parlemen di Berlin (Reichtag Dome), melakukan upaya yang sangat brilian. Gedung tua yang menjadi salah satu simbol kota Berlin itu dikawinkan dengan identitas arsitektur modern yang lebih universal. Dome yang terdapat di atas puncak gedung, dirubah dengan bahan metal dan kaca, bersanding mesra dengan bangunan utama berarsitektur klasik yang didominasi oleh material batu. Dome yang merupakan bagian kecil dari keseluruhan gedung, justru akhirnya menjadi ikon baru yang sangat terkenal dan mengundang orang untuk melihatnya. Karena dari atas gedung itu, masyarakat dapat melihat aktifitas para wakil rakyat yang sidang bersidang di dalamnya. Transparasi dome kaca di atas gedung parlemen telah menjadi media kontrol sosial yang cukup ampuh. Sebuah kegiatan renovasi yang sangat cerdas. Arsitektur adalah jejak sejarah, satu-satunya warisan sejarah yang bisa dinikmati visualnya secara optimal tanpa harus bayar. Renovasi pada bangunan mampu meninggalkan jejak sejarah yang membanggakan.

Seorang teman arsitek membeli rumah kosong sederhana produk era tahun 70-an yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Rumah itu kondisinya mengenaskan, penuh jamur dan lembab pada dinding dan lantai, yang tentunya kurang baik bagi kesehatan penghuninya. Setelah dilihat, ternyata rumah itu dibangun tanpa pondasi batu kali, hanya roolaag batu-bata dan dinding bata tanpa semen, hanya mengandalkan campuran pasir-kapur-bubuk bata sebagai perekat. Karena kondisi keuangan yang terbatas, maka sangatlah tidak mungkin untuk merubuhkan bangunan lama itu dan menggantinya dengan yang baru. Maka otak kreatif sang pemilik yang arsitek itu berputar mencari alternatif untuk renovasi rumah sesuai dengan kemampuan finansial. Dinding bata setinggi 50 cm di atas lantai dibongkar diganti dengan pasangan trasraam untuk mencegah intrusi air tanah yang menyebabkan dinding lembab. Seluruh plesteran dinding dikupas, diganti dengan plesteran baru yang lebih waterproof. Hasilnya, rumah dinding tidak lagi berjamur dan lembab tanpa harus dilapisi dengan keramik yang jauh lebih mahal, cukup dengan teknik renovasi sederhana yang tepat guna. Perbaikan juga dilakukan di sana sini dengan teknik yang sederhana namun jitu dan biaya yang murah, menghasilkan sebuah rumah yang sangat nyaman dan berkarakter kuat, yang asalnya dari sebuah bangunan yang tidak pernah diminati orang untuk ditinggali. Sekarang harga jual rumah itu telah berlipat lima kali sejak dibeli sepuluh tahun yang lalu. Arsitektur adalah investasi, yang mampu menjadikan sebuah bangunan from nothing to everything. Renovasi yang cerdas, secara dramatis mampu meningkatkan nilai ekonomis sebuah bangunan.

Sebuah pabrik bir terbesar di Irlandia, Guiness, mempunyai sejarah panjang yang berkaitan dengan perjalanan sejarah kota Dublin. Jejak sejarah pabrik bir itu adalah jejak sejarah kota Dublin juga. Oleh karena itu, ketika pabrik membutuhkan gedung yang lebih untuk kantor pusat manajemen, maka upaya renovasi ditempuh untuk menjalin jejak sejarah. Sebuah gedung tertua dipilih untuk direnovasi dan dijadikan kator pusat sekaligus museum bir. Didalam gedung yang berarsitektur Gregorian itu, dijejalkan semangat baru dalam bentuk material struktur dan arsitektur serta mekanikal elektrikal yang canggih. Ekspresi dingin pada eksterior yang sangat dingin berbeda dengan ekpresi interior yang hangat. Permainan ruang yang apik tanpa mengganggu struktur utama yang renta, telah mampu menjadikan tempat ini menjadi salah satu tempat yang plaing atraktif di kota Dublin. Wisatawan yang berkunjung di kota itu tidak lega jika hanya mereguk bir kebanggaan Irlandia, mereka harus berkesempatan melihat pabriknya secara langsung. Untuk memanjakan para wisatawan, dibangunlah sebuah bar di atas gedung tua tersebut yang berlantai delapan, sebagai wahana menikmati kota Dublin dari atas ketinggian. Menikmati berbagai macam bir di atas ketinggian sambil menikmati view kota adalah pengalaman yang sangat mahal dan spesial. Arsitektur adalah representasi kota, yang mampu menjadikan sebuah kota dikenal secara luas. Renovasi yang strategis, mampu meningkatkan reputasi sebuah kota.

Berarsitektur bukan hanya kegiatan merancang sebuah wadah yang sama sekali baru. Renovasi merupakan salah satu kegiatan berarsitektur yang lebih menekankan pada upaya untuk meningkatkan kualitas sebuah bangunan yang sudah ada. Proses kreatif dalam renovasi adalah sebuah tantangan dengan segala kompleksitasnya. Mulai dari sekedar “menggunting rambut” sampai dengan upaya “face off”. Definisi arsitektur telah berkembang sedemikian luasnya, menciptakan cluster-cluster baru yang semakin menarik. Yang juga sangat penting adalah, upaya pemaknaan pada setiap proses kreatif dalam rangka berarsitektur itu. Upaya pemaknaan ini melahirkan strategi kreatif yang berbeda,

Memperbarui suatu benda dari kondisi yang usang menjadi lebih bernilai sudah lazim dilakukan orang. Tetapi tidak banyak orang yang sadar bahwa proses kreatif memperbarui itu merupakan satu kenikmatan sendiri, bukan hanya hasil akhirnya semata.

Beberapa bulan yang lalu, peristiwa serupa “pembajakan” motor di tengah jalan itu terjadi lagi.
Kali ini terjadi di sebuah bengkel cuci mobil, di saat saya hendak mencuci mobil yang lagi-lagi sebuah mobil tua yang sudah saya dandanin habis-habisan. Dari sebuah mobil tua pabrikan Amerika awal tahun 80-an yang penuh karat, menjadi sebuah identitas yang saya yakin mampu memikat 90% laki-laki di dunia ini.
Demi melihat mobil saya yang sedang dilap dengan lembut oleh para karyawan bengkel, seorang bapak datang menghampiri saya sambil berkata, “Mobilnya nggak dijual pak?”
………ampuuuuuuuuuuuuuuuun…………

Teks dan Foto Oleh :
Wahyu Setyawan

berhutang budi pada kampung

Awal Januari 2008 yang lalu, empat puluh tujuh mahasiswa saya terjunkan ke sebuah kampung tua di tengah kota Surabaya. Tepatnya kampung Peneleh. Mereka saya minta untuk “memotret” kampung dari kacamata lain jagad arsitektur. Jika selama ini mahasiswa banyak bergumul dengan definisi arsitektur kaum ningrat, saya mendorong mereka untuk menikmatinya dari sudut arsitektur rakyat jelata.
Saya memaksa mereka masuk ke lorong kampung, mengintip isi rumah-rumah tua, mencium aroma pasar buah, masuk ke pekuburan, berbincang dengan para tetua-wanita-pemuda dan anak-anak, tentang perasaan mereka akan “istana” yang mereka miliki. Saya biarkan mereka mencoba memahami arti arsitektur lewat jejak kehidupan di tengah permukiman padat.

Siang itu saya ada janji dengan seorang Profesor dari Harvard di sebuah Lunch Club di tengah kampus Harvard University yang teduh dan tenang. Dia seorang wanita keturunan Mesir, mengundang saya makan siang bersama beberapa rekan dari belahan Asia lainnya. Saat berkenalan dengannya, teman-teman dari belahan dunia lain itu sibuk menjelaskan asal dan kegiatannya untuk menarik perhatian sang professor. Tiba gilirannya, saya cuman bilang “ Wahyu, dari Surabaya, seorang fasilitator pendidikan yang sedang berusaha melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang sekitar.” Di luar dugaan saya, sang professor dengan sangat antusias langsung bertanya “Apa kabar kampung anda? Apakah program perbaikan kampung masih berjalan hingga sekarang? Saya sering memakai kampung di kota anda sebagai bahan kuliah untuk mahasiswa saya.” Mak nyeeeeeesssssssssssssss…………..adem banget rasanya.

Itu kejadian kesekian kalinya yang membuat saya merasa bangga menjadi warga kota Surabaya yang pemerintahnya pernah begitu peduli dengan eksistensi kampung di tengah kota. Seorang professor dari Kyoto University pernah berkata hal yang serupa kepada saya. Saat itu kami sedang menikmati keindahan Awaji Yumebutei karya Tadao Ando di pulau Awaji - Jepang. Di atas atap salah satu bagian gedungnya, sambil melihat hamparan bunga cosmos beraneka warna, dia berkata dengan mantap kepada saya, “Wahyu, tahukan anda, kalau saya sering memakai kota anda Surabaya sebagai bahan kuliah untuk para mahasiswa, sejak dulu, sampai nanti. Banyak hal yang bisa dipelajari oleh orang Jepang tentang bagaimana orang-orang kampung di Surabaya berjuang untuk hidup. Saya akan tetap sering ke Surabaya, masuk kampung membawa mahasiwa arsitektur dari kampus saya.” Itu semakin melengkapi komentar yang hampir sama dari beberapa teman saya dari Thailand, Bangladesh, Pakistan dan beberapa negara dari Lintang-Bujur lain, saat saya pertama berkenalan dengan mereka.

Di awal perkuliahan Perumahan dan Permukiman, saya selalu katakan kepada para mahasiswa, bahwa arsitektur bukan hanya milik para kaum berpunya, tetapi arsitektur juga milik kaum papa. Tugas arsitektur begitu mulia, meningkatkan kesejahteraan umat manusia tanpa harus serakah mengorbankan alam sekitarnya.

Di kesempatan lain, saya sedang mendengarkan paparan walikota Dublin – Irlandia - di sebuah kampus berbasis teknologi di kota Dublin yang tua. Dengan tenang dan mantap , sang walikota bercerita bahwa dia sangat yakin pada kami yang baru pertama kali menginjakkan kota Dublin, akan terkaget-kaget dengan atmosfir kota yang mirip setting film Interview With The Vampire. Kami tidak akan menemukan bangunan sekelas karya Frank O. Gehry dan Renzo Piano di tengah kota. Yang ada hanya deretan bangunan tua berwarna terakota yang hangat, memeluk mesra taman-taman kota yang riuh betebaran.
Sang walikota memaparkan visinya, bahwa Dublin tidak akan pernah berubah menjadi London atau New York, melainkan tetap akan menjadi Dublin yang misterius. New York boleh punya Empire State Building, Malysia boleh punya Menara Kembar Petronas, tapi Dublin tidak akan pernah membangun yang seperti itu, bukannya tidak mampu, hanya tidak mau. Biarlah Dublin menjadi kota yang semakin renta namun memikat. Karena dengan demikian, Dublin akan menjadi kota yang “beda”.

Saya jadi teringat kata-kata Joko Pekik, seorang pelukis tua yang sangat sederhana. Lukisannya yang cenderung naïf banyak diburu para kolektor. Ketika ditanya kenapa dia sangat terkenal, dia hanya bilang bahwa sebenarnya dia terkenal karena kebodohannya. “Para pelukis lain berlomba-lomba mencari jati diri dengan mengembangkan teknik lukisan yang modern. Sementara saya hanya mampu melukis dengan teknik kuno dan konvensional. Ibarat lomba lari, maka para pelukis lain berusaha berlari sekuat tenaga untuk menjadi yang terdepan. Sedangkan saya hanya mampu berjalan pelan sambil tertatih-tatih, sendirian, tertinggal jauh dari rombongan para pelari di depan.” Justru karena tertinggal jauh itulah, maka dia menjadi terlihat, mejadi ada, menjadi pusat perhatian. Penonton tidak lagi melihat rombongan para pelari yang bergerombol mengejar garis finish, tetapi lebih tertarik melihat sang pelari yang keteteran di belakang sambil tertawa.

Di tengah semester, mahasiswa saya minta mempresentasikan tentang apa yang telah mereka dapatkan selama menelusuri kehidupan di tengah kampung itu. Mereka melihat bahwa betapa bahagianya orang-orang yang tinggal dikampung, walau bagaimanapun kondisi rumahnya. Mereka sangat yakin bahwa rumah mereka akan berkembang sejalan dengan tingkat kemakmuran mereka. Secara bijak para mahasiswa mengakui, bahwa mereka telah belajar bagaimana memandang arsitektur sebagai sebuah wahana untuk menuju perikehidupan yang lebih baik. Arsitektur (rumah) itu bukanlah “what it is”, tetapi “what it does” sebagaimana yang dikatakan John. F. Turner. Arsitektur itu bukanlah produk, melainkan proses.

Surabaya dikenal di arena lewat beberapa penghargaan tingkat dunia (kurang lebih ada 4 buah, diantaranya adalah Habitat Award dan Aga Khan Award) yang pernah diraihnya. Dan hebatnya, semua penghargaan Internasional tersebut didapatkan karena keberadaan kampung di tengah kota. Bukan karena keberadaan bangunan komersial modern yang mulai banyak menancapkan kesombongannya di seantero kota, ataupun juga karena perumahan modern yang telah banyak menyekat kota menjadi tempat yang asing bagi kaum urban marjinal. Surabaya mendapat penghargaan karena tangan-tangan tulus para penduduk kampung….bukan karena tangan kreatif para arsitek. Surabaya menjadi “beda” karena denyut kehidupan dan keguyuban di tengah kampung, bukan karena denyut kemewahan di dalam pusat perbelanjaan. Di dalam kampung, arsitektur bukan lagi dilihat sebagai barang jadi yang mewah, namun didefinisikan secara bersama sebagai bagian dari proses kehidupan. Arsitektur telah memberi makna kehidupan warga kampung agar lebih menghormati sesama, meski dalam keterbatasan.

Saya malu…….belum mampu berbuat seperti orang-orang yang di kampung itu. Di tangan orang-orang yang sederhana itu, arsitektur telah menjadi sesuatu yang sangat humanis.
Saya malu…….saya dan para arsitek lainnya belum melakukan apa-apa buat mereka…..bahkan untuk sekedar “ucapan terima kasih.”

Saya merindukan pemimpin yang tulus, pemimpin yang ikhlas, sebagaimana warga kampung yang ikhlas sebagian tanahnya dipotong untuk pelebaran gang. Saya memimpikan pemimpin yang tidak terlalu silau oleh perkembangan dunia, berusaha meraih yang lain, namun tidak melepas apa yang ada di genggaman tangan. Saya merindukan suasana seperti dulu, saat banyak para arsitek dari penjuru dunia lain berbondong datang ke Surabaya, untuk belajar dari para pemimpin kota dan warga kampung.
Hmmmmmm…….alangkah indahnya……meski baru sekedar mimpi…….paling tidak saya masih bisa bermimpi.

Tiba-tiba saya begitu kangen Romo Mangunwijaya……..menyesal saya tidak pernah mengenalnya.

Ah……….dasar cengeng……………

(Surabaya, 2 Juni 2008, ditulis atas permintaan seorang sahabat di Sanur - Bali)

kekuatan sepenggal arsitektur jalanan






Philadelphia 20 tahun yang lalu adalah sebuah kota yang pemerintahannya bangkrut. Tingkat kriminalitasnya tertinggi di Amerika Serikat pada saat itu. Kota berubah menjadi sebuah arena “pertempuran sosial” yang mengerikan dimana keamanan menjadi sangat mahal. Kondisi fisik kota sangat kotor dan cenderung berubah menjadi kota yang ditinggalkan warganya. Graffiti (lukisan tembok) merajalela yang isinya penuh dengan sumpah serapah.
Menyadari akan bahanya kondisi tersebut, maka sektor swasta berinisiatif mengambil alih peran pembangunan di garda depan dengan menggerakkan seluruh potensi swasta untuk menghidupkan kota kembali. Hasilnya adalah sekarang Philadelphia menjadi salah satu kota yang paling atraktif di Amerika. Salah satu program yang dijalankan sejak kebangkitan kota itu adalah dengan menyelenggarakan program seni mural (Mural Arts Program/MAP) sebagai sarana kampanye pembangunan kota. MAP berusaha memanfaatkan tangan kreatif para seniman jalanan untuk membangkitan semangat warga untuk membangun kota.
Lewat tangan-tangan kreatif pekerja seni dan arsitek yang menjadi motor MAP, telah merubah dinding-dinding kosong yang banyak bertebaran di tengah kota, menjadi media komunikasi visual yang efektif untuk membangkitkan kepedulian warga setempat terhadap pembangunan kota.
Tema pada setiap mural tersebut bukanlah ide sang seniman, arsitek atau tokoh tertentu semata, melainkan merupakan hasil diskusi yang panjang dengan masyarakat setempat. Gambar yang muncul pada setiap mural merupakan refleksi dari pemikiran dan keinginan masyarakat sekitar lokasi mural itu dibuat. Bahkan di lingkungan semacam lembaga pemasyaraatan (House of Correction) telah mendidik para narapidana yang berbakat untuk membuat mural di lingkungan penjara yang misinya membangkitkan semangat berjuang untuk kembali hidup bermasyarakat. Mural yang dibuat selalu mengangat isu-isu penting bagi kota mulai dari isu lingkungan, rasial, kepahlawanan, olah raga, dan sebagainya, di mana di setiap mural tertulis juga seniman, penyandang dana dan pihak2 yang telah berjasa dalam upaya mewujudkannya. “That mural on the wall gives us hope. It gives us dignity manifest, to match the dignity we have within”, demikian kata salah seorang tokoh masyarakat kota itu.
Ukuran mural yang rata-rata raksasa itu (ada yang setinggi gedung empat lantai) dibuat dengan sedemikian detail dan menggunakan teknik yang tinggi, bahkan ada sebuah mural yang dibuat dengan menempelkan ribuan mozaik keramik berukuran 2x2cm pada sebuah dinding raksasa ruang parkir publik.
Lewat kegiatan yang dikordinasikan oleh organisasi non profit tersebut sejak tahun 1990an telah dibuat lebih dari 2600 mural yang bertebaran di seluruh penjuru kota, dan menjadi atraksi wisata (lebih dari 6000 pengunjung per tahun) yang spektakuler dan menjadi kebanggan warga kota Philadelphia.
Jane Golden, sang Direktur MAP, mengatakan “The making of a mural enters people’s collective memory as an extraordinary, positive moment in the neighborhood history”.
Agaknya lukisan dinding sebagai sebuah penggalan arsitektur dua dimensi di jalanan telah menjadikan Philadelphia menjadi kota yang mendunia dengan identitas yang sangat unik, CITY OF THOUSANDS MURAL.

(Wahyu Setyawan, Philadelphia, Oktober 2007)
Sumber foto : Koleksi Pribadi, diambil dengan kamera Digital SLR Canon EOS 350D.

illinois institute of technology...... menjual kampus lewat karya arsitektur





Bagi sebagian besar orang, sebuah perguruan tinggi dikenal lewat kehandalan sistim pendidikan yang ditawarkan.
Bagi Illinois Institute of Technology (IIT) di Chicago, Amerika Serikat, hal itu tidaklah cukup. Kampus harus mampu menawarkan hal yang lebih dari sekedar proses belajar mengajar, melainkan memberikan kesempatan untuk menikmati perjalanan hidup lewat interaksi antar manusia, bangunan dan alam. Sebuah kegiatan studi akan lebih sempurna jika semua pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai kebanggaan pada almamaternya.
Untuk mendukung upaya tersebut, maka IIT secara cerdas telah merepoisisi kampus sebagai wahana eksplorasi arsitektur modern, yang mampu mencitrakan kampus IIT sebagai perguruan tinggi yang menjadi salah satu landmark kota Chicago.
Upaya tersebut dimulai sejak Ludwig Mies van der Rohe (1886-1969) menjadi kepala Department of Architecture di IIT (1938-1958). Sebagai salah seorang “The God-Father of Modern Architecture”, selepas dari Bauhaus (Jerman) Mies berupaya menekankan pada pembumian studi arsitektur pada pemecahan masalah (problem solving), bukan sekedar estetika kosmetik. Untuk menegaskan ideologi berasitekturnya tersebut, maka Mies mendesain S.R.Crown Hall (1955) di IIT yang menjadi salah satu tonggak sejarah perkembangan arsitektur modern dunia. Selanjutnya, perkembangan arsitektur kampus IIT sangat dipengaruhi oleh karya Mies sampai dia wafat. Pada tahun 1976 American Institute of Architect (AIA) menetapkan IIT sebagai one of the 200 most important works of architecture in US. Tahun 2001 National Park Service of US menetapkan S.R.Crown Hall sebagai National Historic Landmark .
Sepeninggal Mies, IIT tetap konsisten menjalankan ideologi arsitektur modern untuk pembangunan gedung-gedung barunya. Tengoklah student residence hall dan McCormick Tribune Campus Center yang berdiri pada tahun 2003, sangat kental dengan spirit arsitektur modern. Student residence hall yang didesain oleh Murphy Jahn menggunakan bahan-bahan metal dan kaca yang merefleksikan kemajuan industrialisasi komponen bangunan. Sebagai alumni IIT yang mendapat didikan langsung dari Mies, Jahn sangat memahami ideologi modernisme (yang oleh kalangan IIT dengan bangganya menyebut dirinya sebagai penganut aliran Mies van der Roheism) dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi, namun tetap memperhatikan aspek lingkungan. Pada tahun 1991 Jahn terpilih oleh AIA sebagai salah satu dari Ten Most Influential Living American Architects.
Yang paling mencengangkan adalah McCormick Tribune Campus Center yang didesain oleh Rem Koolhaas, seorang arsitek berkebangsaan Belanda lewat sebuah ajang kompetisi desain. Sebagai sebuah student center di IIT, McCormick Tribune Campus Center hadir sangat unik dimana diletakkan tepat dibawah menara rel perlintasan kereta komuter, yang menjadi bangunan penghubung antara kampus di sisi selatan dan utara perlintasan kereta.
Untuk mengurangi kebisingan suara kereta, maka menara rel dibungkus dengan tabung aluminium sepanjang 150 meter, dan seolah menjadi pintu gerbang bagi kereta yg memasuki areal kampus. Tepat di bawah perlintasan kereta itu terdapat fasilitas mahasiswa yang sangat lengkap mulai dari food court, pusat organisasi mahasiswa, retail shops, pusat rekreasi dan kebugaran dan masih banyak lagi. Dengan bentuk dan warna yang sangat atraktif, student center ini telah mampu mengguncang jagad dunia arsitektur dan menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik.
IIT telah membuktikan bahwa dengan perencanaan yang matang, arsitektur telah mampu menjadi media promosi yang handal bagi sebuah institusi pendidikan, yang berbeda dengan kampus lain sekaligus menjadi identitas yang kuat, yang memberikan kebanggan bagi para penghuni kampus.

(Wahyu Setyawan, Chicago, Oktober 2007)
Foto-foto merupakan dokumentasi pribadi, diambil dengan kamera digital SLR Canon EOS350D.

falling water.... keajaiban sebuah kesederhanaan




Bagi para arsitek di seluruh dunia, Falling Water merupakan sebuah kitab yang menjadi referensi bagi perkembangan jagad arsitektur modern.
Berada di tengah kawasan hutan Mill Run, Pennsylvania, Amerika, yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota (6 jam berkendaraan dari Philadelphia), Falling Water mampu menjadi daya tarik wisata yang luar biasa.
Frank Lloyd Wright, adalah sang arsitek fenomenal yang telah menghadirkan karya spektakuler rumah peristirahatan bagi keluarga Edgar J. Kaufmann, pemilik sebuah Department Store dari Pittsburg, pada tahun 1935-1939. Sejak tahun 1963, Falling Water beserta seluruh isinya oleh keluarga Kaufmann Jr. diserahkan kepada Western Pennsylvania Conservacy untuk dijadikan museum sebagai penghargaan atas karya arsitektur F.L. Wright.
Memasuki kawasan museum Falling Water, kesan sederhana menyeruak sejak di pintu masuk utama yang hanya ditandai dengan sebuah tiang batu, berlanjut ke bangunan pengelola museum yang didominasi kayu , jalan setapak dan berujung pada Falling Water yang berdiri di bantaran sungai berbatu dengan sebuah air terjun kecil di depannya. Berdiri di hamparan hutan Oak dan Maple menjadi sebuah harmoni tersendiri antara bangunan dan alam.
Falling Water dibangun dengan konsep desain yang tidak lazim pada saat itu, dimana F.L. Wright (yang banyak dipengaruhi budaya Jepang) berusaha menghadirkan sebuah karya arsitektur dengan pendekatan konsep dekat dengan alam, sangat kontras dengan aliran arsitektur modern yang cenderung kontras dengan lingkungan.
Pemilihan lahan dan bahan bangunan secara apik menyiratkan kesederhanaan dan penghargaan terhadap alam sekitar. Bahan bangunan (finishing) diambil dari quarry di sekitar lokasi dengan eksplotasi yang bijak. Pemilihan struktur yang didominasi sistem cantilever (overhang) berbahan utama beton bertulang secara sepintas tampak biasa saja, namun kalau dilihat lebih detail menunjukkan bahwa Falling Water dibangun dengan sistem struktur yang rumit dan sangat detail.
Masuk ke dalam bangunan, akan tampak tojolan bebatuan asli berukuran besar, yang menunjukkan bahwa bangunan didirikan sangat menyatu dengan alam dalam arti yang sebenarnya di mana sangat sedikit dari bebatuan tebing sungai yang dirubah struktur aslinya.
Banyaknya bukaan pada dinding dan atap juga menunjukkan konsep hemat energi (cahaya dan panas) yang sekarang ini menjadi isu global.
Berada di sebuah kawasan terpencil yang cenderung in the middle of nowhere, tidak membuat museum ini sepi pengunjung, apalagi setelah direnovasi dan masuk dalam salah satu bangunan cagar budaya oleh Commonwealth Treasure 2000.
Bagi sebagain besar arsitek di seluruh dunia, berkunjung ke Falling Water merupakan salah satu obsesi terbesar. Hasil pooling di kalangan American Institute of Architects menunjukkan bahwa Falling Water adalah “The Best all-time work American architecture”. Sementara itu National Geographic Traveler menetapkannya sebagai “Place of a Lifetime”.
Tidak heran jika Vincent Scully, seorang Professor Emeritus dari Yale University mengatakan : “Falling Water has always been rightly considered one of the complete masterpieces of twentieth-century art”.

(Philadelphia, November 2007, WAHYU SETYAWAN)