Jumat, Januari 30, 2009

berhutang budi pada kampung

Awal Januari 2008 yang lalu, empat puluh tujuh mahasiswa saya terjunkan ke sebuah kampung tua di tengah kota Surabaya. Tepatnya kampung Peneleh. Mereka saya minta untuk “memotret” kampung dari kacamata lain jagad arsitektur. Jika selama ini mahasiswa banyak bergumul dengan definisi arsitektur kaum ningrat, saya mendorong mereka untuk menikmatinya dari sudut arsitektur rakyat jelata.
Saya memaksa mereka masuk ke lorong kampung, mengintip isi rumah-rumah tua, mencium aroma pasar buah, masuk ke pekuburan, berbincang dengan para tetua-wanita-pemuda dan anak-anak, tentang perasaan mereka akan “istana” yang mereka miliki. Saya biarkan mereka mencoba memahami arti arsitektur lewat jejak kehidupan di tengah permukiman padat.

Siang itu saya ada janji dengan seorang Profesor dari Harvard di sebuah Lunch Club di tengah kampus Harvard University yang teduh dan tenang. Dia seorang wanita keturunan Mesir, mengundang saya makan siang bersama beberapa rekan dari belahan Asia lainnya. Saat berkenalan dengannya, teman-teman dari belahan dunia lain itu sibuk menjelaskan asal dan kegiatannya untuk menarik perhatian sang professor. Tiba gilirannya, saya cuman bilang “ Wahyu, dari Surabaya, seorang fasilitator pendidikan yang sedang berusaha melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang-orang sekitar.” Di luar dugaan saya, sang professor dengan sangat antusias langsung bertanya “Apa kabar kampung anda? Apakah program perbaikan kampung masih berjalan hingga sekarang? Saya sering memakai kampung di kota anda sebagai bahan kuliah untuk mahasiswa saya.” Mak nyeeeeeesssssssssssssss…………..adem banget rasanya.

Itu kejadian kesekian kalinya yang membuat saya merasa bangga menjadi warga kota Surabaya yang pemerintahnya pernah begitu peduli dengan eksistensi kampung di tengah kota. Seorang professor dari Kyoto University pernah berkata hal yang serupa kepada saya. Saat itu kami sedang menikmati keindahan Awaji Yumebutei karya Tadao Ando di pulau Awaji - Jepang. Di atas atap salah satu bagian gedungnya, sambil melihat hamparan bunga cosmos beraneka warna, dia berkata dengan mantap kepada saya, “Wahyu, tahukan anda, kalau saya sering memakai kota anda Surabaya sebagai bahan kuliah untuk para mahasiswa, sejak dulu, sampai nanti. Banyak hal yang bisa dipelajari oleh orang Jepang tentang bagaimana orang-orang kampung di Surabaya berjuang untuk hidup. Saya akan tetap sering ke Surabaya, masuk kampung membawa mahasiwa arsitektur dari kampus saya.” Itu semakin melengkapi komentar yang hampir sama dari beberapa teman saya dari Thailand, Bangladesh, Pakistan dan beberapa negara dari Lintang-Bujur lain, saat saya pertama berkenalan dengan mereka.

Di awal perkuliahan Perumahan dan Permukiman, saya selalu katakan kepada para mahasiswa, bahwa arsitektur bukan hanya milik para kaum berpunya, tetapi arsitektur juga milik kaum papa. Tugas arsitektur begitu mulia, meningkatkan kesejahteraan umat manusia tanpa harus serakah mengorbankan alam sekitarnya.

Di kesempatan lain, saya sedang mendengarkan paparan walikota Dublin – Irlandia - di sebuah kampus berbasis teknologi di kota Dublin yang tua. Dengan tenang dan mantap , sang walikota bercerita bahwa dia sangat yakin pada kami yang baru pertama kali menginjakkan kota Dublin, akan terkaget-kaget dengan atmosfir kota yang mirip setting film Interview With The Vampire. Kami tidak akan menemukan bangunan sekelas karya Frank O. Gehry dan Renzo Piano di tengah kota. Yang ada hanya deretan bangunan tua berwarna terakota yang hangat, memeluk mesra taman-taman kota yang riuh betebaran.
Sang walikota memaparkan visinya, bahwa Dublin tidak akan pernah berubah menjadi London atau New York, melainkan tetap akan menjadi Dublin yang misterius. New York boleh punya Empire State Building, Malysia boleh punya Menara Kembar Petronas, tapi Dublin tidak akan pernah membangun yang seperti itu, bukannya tidak mampu, hanya tidak mau. Biarlah Dublin menjadi kota yang semakin renta namun memikat. Karena dengan demikian, Dublin akan menjadi kota yang “beda”.

Saya jadi teringat kata-kata Joko Pekik, seorang pelukis tua yang sangat sederhana. Lukisannya yang cenderung naïf banyak diburu para kolektor. Ketika ditanya kenapa dia sangat terkenal, dia hanya bilang bahwa sebenarnya dia terkenal karena kebodohannya. “Para pelukis lain berlomba-lomba mencari jati diri dengan mengembangkan teknik lukisan yang modern. Sementara saya hanya mampu melukis dengan teknik kuno dan konvensional. Ibarat lomba lari, maka para pelukis lain berusaha berlari sekuat tenaga untuk menjadi yang terdepan. Sedangkan saya hanya mampu berjalan pelan sambil tertatih-tatih, sendirian, tertinggal jauh dari rombongan para pelari di depan.” Justru karena tertinggal jauh itulah, maka dia menjadi terlihat, mejadi ada, menjadi pusat perhatian. Penonton tidak lagi melihat rombongan para pelari yang bergerombol mengejar garis finish, tetapi lebih tertarik melihat sang pelari yang keteteran di belakang sambil tertawa.

Di tengah semester, mahasiswa saya minta mempresentasikan tentang apa yang telah mereka dapatkan selama menelusuri kehidupan di tengah kampung itu. Mereka melihat bahwa betapa bahagianya orang-orang yang tinggal dikampung, walau bagaimanapun kondisi rumahnya. Mereka sangat yakin bahwa rumah mereka akan berkembang sejalan dengan tingkat kemakmuran mereka. Secara bijak para mahasiswa mengakui, bahwa mereka telah belajar bagaimana memandang arsitektur sebagai sebuah wahana untuk menuju perikehidupan yang lebih baik. Arsitektur (rumah) itu bukanlah “what it is”, tetapi “what it does” sebagaimana yang dikatakan John. F. Turner. Arsitektur itu bukanlah produk, melainkan proses.

Surabaya dikenal di arena lewat beberapa penghargaan tingkat dunia (kurang lebih ada 4 buah, diantaranya adalah Habitat Award dan Aga Khan Award) yang pernah diraihnya. Dan hebatnya, semua penghargaan Internasional tersebut didapatkan karena keberadaan kampung di tengah kota. Bukan karena keberadaan bangunan komersial modern yang mulai banyak menancapkan kesombongannya di seantero kota, ataupun juga karena perumahan modern yang telah banyak menyekat kota menjadi tempat yang asing bagi kaum urban marjinal. Surabaya mendapat penghargaan karena tangan-tangan tulus para penduduk kampung….bukan karena tangan kreatif para arsitek. Surabaya menjadi “beda” karena denyut kehidupan dan keguyuban di tengah kampung, bukan karena denyut kemewahan di dalam pusat perbelanjaan. Di dalam kampung, arsitektur bukan lagi dilihat sebagai barang jadi yang mewah, namun didefinisikan secara bersama sebagai bagian dari proses kehidupan. Arsitektur telah memberi makna kehidupan warga kampung agar lebih menghormati sesama, meski dalam keterbatasan.

Saya malu…….belum mampu berbuat seperti orang-orang yang di kampung itu. Di tangan orang-orang yang sederhana itu, arsitektur telah menjadi sesuatu yang sangat humanis.
Saya malu…….saya dan para arsitek lainnya belum melakukan apa-apa buat mereka…..bahkan untuk sekedar “ucapan terima kasih.”

Saya merindukan pemimpin yang tulus, pemimpin yang ikhlas, sebagaimana warga kampung yang ikhlas sebagian tanahnya dipotong untuk pelebaran gang. Saya memimpikan pemimpin yang tidak terlalu silau oleh perkembangan dunia, berusaha meraih yang lain, namun tidak melepas apa yang ada di genggaman tangan. Saya merindukan suasana seperti dulu, saat banyak para arsitek dari penjuru dunia lain berbondong datang ke Surabaya, untuk belajar dari para pemimpin kota dan warga kampung.
Hmmmmmm…….alangkah indahnya……meski baru sekedar mimpi…….paling tidak saya masih bisa bermimpi.

Tiba-tiba saya begitu kangen Romo Mangunwijaya……..menyesal saya tidak pernah mengenalnya.

Ah……….dasar cengeng……………

(Surabaya, 2 Juni 2008, ditulis atas permintaan seorang sahabat di Sanur - Bali)

Tidak ada komentar: